Mengenal Trunyan: Kuburan Terbuka dan Taru Menyan

Desa Trunyan Bali

Mengenal Trunyan, Di sisi timur Danau Batur, tersembunyi sebuah desa yang seolah membekukan waktu—Desa Trunyan, mari kita mengenal Trunyan lebih jauh, rumah bagi masyarakat Bali Aga, leluhur asli pulau Bali. Jauh dari gemerlap pariwisata dan pengaruh budaya luar, Trunyan menyimpan warisan budaya kuno yang unik, spiritual, bahkan tak jarang dianggap mistis.

Berbeda dengan masyarakat Bali modern yang sarat dengan pengaruh Hindu Majapahit, budaya Trunyan masih murni Bali asli. Mereka menjaga adat-istiadat turun-temurun yang membedakan mereka dari desa-desa lain di Bali, termasuk dalam hal sistem sosial, arsitektur rumah, hingga cara memperlakukan kematian.

Tradisi Mepasah: Ketika Kematian Tak Perlu Dikubur

Inilah hal yang membuat Trunyan dikenal dunia: tradisi pemakaman terbuka. Masyarakat Trunyan tidak mengubur atau membakar jenazah orang yang meninggal. Sebaliknya, jasadnya dibaringkan begitu saja di tanah di bawah pohon besar bernama Taru Menyan, dalam kerangka bambu yang disebut “ancak saji”.

Ajaibnya, tidak tercium bau busuk meskipun jenazah dibiarkan membusuk alami. Hal ini diyakini karena kekuatan pohon Taru Menyan yang mengeluarkan aroma harum kuat, mampu menetralisir bau kematian. Inilah asal nama desa ini: Taru (pohon) dan Menyan (wangi/kemenyan).

Namun, tradisi ini hanya dilakukan pada orang dewasa yang meninggal secara wajar. Jika meninggal karena kecelakaan, penyakit menular, atau anak-anak, jasadnya akan dikubur seperti biasa.

Baca Juga : Pesona Taman Dedari Ubud, Patung Bidadari yang Megah

Pura Pancering Jagat dan Ritual Brutuk

Di jantung desa terdapat pura suci bernama Pancering Jagat, tempat pemujaan roh pelindung desa, Bhatara Da Tonta, sosok besar dengan arca batu setinggi 4 meter. Ritual khusus yang disebut Tari Brutuk dilakukan setahun sekali dalam suasana penuh sakralitas dan larangan ketat.

Penari Brutuk adalah pria muda yang menjalani masa puasa dan pantangan, mengenakan topeng dan pakaian dari daun pisang kering, serta menari dalam kondisi kerasukan. Ritual ini dipercaya membawa keberkahan dan perlindungan bagi warga desa.

Struktur Sosial dan Kehidupan Sehari-hari

Budaya Trunyan sangat tertutup dan eksklusif. Mereka memiliki sistem kasta tersendiri yang berbeda dari Hindu Bali, dan adatnya dikelola oleh Bendesa Adat (pemimpin adat). Tata ruang desa mengikuti sistem kosmik dan spiritual berdasarkan arah mata angin.

Rumah-rumah di Trunyan dibangun dari kayu dan bambu dengan gaya arsitektur yang sederhana namun penuh makna filosofis. Kehidupan warga sangat bergantung pada danau dan pertanian di lereng gunung.

Baca Juga : Museum Seni Neka: Surga Seni dan Budaya Bali di Ubud

Filosofi Hidup

Warga Trunyan hidup dengan kesederhanaan dan kedekatan pada alam. Kematian bukan sesuatu yang ditangisi, melainkan dijalani sebagai bagian dari siklus kehidupan yang harus diterima dengan tenang dan selaras dengan alam semesta. Mereka meyakini bahwa roh orang mati tetap hidup dalam keseimbangan dengan pohon Taru Menyan, dan harus dihormati tanpa penguburan atau pembakaran.

Kesimpulan

Budaya Trunyan adalah refleksi keaslian Bali yang jarang terlihat di tempat lain. Di tengah derasnya modernisasi, desa ini berdiri tegak menjaga jati dirinya, menghadirkan kearifan lokal yang unik, sakral, dan tak jarang membuat kita merenung ulang makna hidup dan mati. Trunyan bukan sekadar desa adat—ia adalah jendela menuju spiritualitas Bali yang paling purba.