Gempa Guncang Bali Saat Perayaan Hari Suci Tumpek Uduh, Ini Artinya

Gempa Guncang Bali saat Tumpek Uduh

Gempa Guncang Bali Saat Perayaan Hari Suci Tumpek Uduh, Ini Artinya. Di tengah-tengah umat hindu yang sedang merayakan hari suci tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag, sabtu (16/10), Bali di guncang gempa sekitar 4 kali. Tiga diantaranya ada di lokasi sama, yakni karangasem dengan magnitudo 4,8 lalu 3,8 dan 2,7

Sedangkan satu lagi berada di perairan dekat daerah Buleleng dengan magnitudo 4,3. Gempa di Karangasem yang pusatnya di daratan menyebabkan 3 korban jiwa, beberapa masyarakat mengalami luka-luka, dan banyak bangunan mengalami kerusakan.

Menurut penjelasan Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Griya Agung Sukawati yang di kutip dari Bali post, Rabu (16/10/2021). Gempa yang terjadi pada sasih Kalima, Saniscara Kliwon bersamaan dengan hari suci Tumpek Uduh “Tumpek Pengatag” memberikan arti. Umat Hindu, terutamanya di Bali, diatag atau diberitahu untuk melakukan kewaspadaan. Karena, yang akan datang kemungkinan ada ancaman dan masalah yang serius.

Gempa Guncang Bali Saat Perayaan Hari Suci Tumpek Uduh, Ini Artinya

Secara metafisik, disebutkan, jika pustaka Hindu, Palalindon, yang telah terbukti kebenaran dari masa ke masa, mengatakan masalah dan “pakibeh jagat” atau serba kesulitan.

“Sasab mrana megalak (penyakit sawah benar-benar ganas menyerang) makweh sarwa tinandur rusak (tanaman sawah hasil panennya tidak maksimal), sarang ikang bhumi (jagat dan seisinya kesakitan) eweh ikang nagara (satu wilayah menemui masalah/kesusahan), rug ikang rat (jagat dapat hancur).

Kirang makerthi (kurang melakukan perbuatan baik/kurang pengorbanan), laraning wong mati (orang meninggal tidak ada henti-hentinya), Kala Banaspati Raja, Butha Kali Kalika mangrusit (energi negatif benar-benar aktif bertebaran), akeh wong kapegatan sih (ada-ada saja konflik).

Upas wisya megalak (penyakit “bakteri” sebarannya benar-benar dahsyat), wong akeh keni baya (beberapa orang terkena bencana), muntah mising (penyakit muntaber), lara malaris (muncul kesengsaraan), pamigraha nira (atas panduan Sanghyang Siwa Geni), eweh sang angawa Bhumi (menemui kesusahan untuk pemegang Jagat/Wilayah/Pemerintahan).”

“Maka pokok persoalan yang akan dihadapi nantinya ialah bukan kasus gampang, tetapi penuh pergolakan dan ‘kemewehan‘ (kesulitan, red),” ucapnya memperingatkan.

Dia mengatakan jika umat Hindu dikasih tahu oleh ‘pustaka gempa’ untuk mengantisipasi dengan yadnya sesuai dresta di Bali. Harus dengan fasilitas pemujaan meskipun kecil supaya diberi kerahayuan. “Sarana kecilpun bila dipersembahan dengan norma keadilan dan ketulus-ikhlasan akan diterima,” tutur Ida Pandita.

Simak : Filosofi Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh di Bali

Selanjutnya disebutkan, saat yang pas untuk melakukan upacara yadnya ini seharusnya pada sore hari mendekati malam. Hal tersebut sama sesuai panduan Kitab Suci Weda, wahyu Sang Hyang Widhi Wasa.