Filosofi Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh di Bali

Filosofi Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh di Bali
Filosofi Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh di Bali

Filosofi Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh atau di sebut juga sebagai Tumpek Pengarah dan Tumbek Bubuh. Yang di rayakan oleh umat hindu Bali setiap Saniscara Kliwon Wariga. Upacara tumpek pengatag adalah upacara yang ditujukan untuk pohon-pohonan atau Dewa Sanghyang Sangkara.

Pada hari suci ini, Tuhan memberi karunia ke umat manusia di dunia. Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh dirayakan tiap enam bulan sekali pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, wuku Wariga, tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.

Hari ini dirayakan sebagai hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup semua tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau memelihara supaya tumbuh-tumbuhan tumbuh subur.

Hidup dan terbebas dari hama penyakit, agar memberi hasil yang baik dan banyak dari yang sudah-sudah dan hemat meskipun digunakan atau di konsumsi.

Mengenal filosofi tumpek pengatag atau Tumpek Uduh

Di Bali Umat Hindu selalu merayakan Tumpek Pengatag yang jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Tepatnya pada hari Saniscara Kliwon Wariga. Untuk filosofi tumpek pengatag sebagai rasa sukur kehadapan Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya.

Sang Hyang Sangkara akan dipuja di arah Barat Laut atau Kaja-Kauh dari pengider mata angin Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara yang dilukiskan dengan warna hijau. Warna ini mewakili warna tumbuhan.

Bila kita mengarah pada konsep Siva Siddhanta, Sang Hyang Sangkara merupakan bagian dari Bhatara Siwa yang sama dengan Beliau. Tapi, dalam norma dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu diselenggarakan untuk memvisualisasikan kekuatan Beliau yang tanpa batasan dan supaya manusia yang serba terbatas ini bisa mewujudkan tiap energi Tuhan dalam hidupnya.

Perayaan Tumpek Pengatag atau tumpek uduh

Perayaan hari raya Tumpek Pengatag pasti kita dapat rasakan betapa alam saling memberikan dukungan kehadiran keduanya, pada hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini, kita mengharapkan hujan akan jatuh dari akasa memandikan semua tumbuhan supaya jadi bersih.

Memberi siraman kesejukan ke ibu pertiwi, supaya ibu pertiwi dapat memberi kesuburan dan menjaga tanam-tanamanan di atasnya.

Baca juga : Makna Buda Cemeng Klawu “Piodalan Rambut Sedana”

Tetapi untuk merealisasikan semuanya, kita sebagai umat tidak cukup dengan menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan tiap rahina Tumpek Uduh. Tetapi perlu disertai dengan tindakan nyata, misalkan ikut mensukseskan program pemerintah aktif lakukan tindakan penghijauan lewat program satu miliar pohon.

One man one tree, wanita menanam pohon atau program semacamnya, mengasihi tumbuh-tumbuhan, melawan tindakan illegal logging dan yang lain.

Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini, diharap dapat menekan atau kurangi imbas dari pemanasan global (global warming). Tidak ada istilah terlambat untuk menanam pohon, karena itu mulai lah dari saat ini, dimulai dari lingkungan disekitaran kita. Karena apa yang kita tanam sekarang ini untuk anak cucu kita nantinya.

Filosofi Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh di Bali
Filosofi Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh di Bali

Banten Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag

Dikatakan sebagai Tumpek Bubuh karena saat perayaan dihaturkan bubur sumsum yang dibuat dari tepung.

Baca juga : Mengusir Petaka Lewat Ritual Perang Api di Ubud Gianyar Bali

Dikatakan Tumpek Pangatag, karena mantra tumpek uduh yang dipakai untuk mengupacarai tumbuhan dibarengi dengan acara ngatag. Menggetok-getok batang tumbuhan yang diupacarai. Adapun banten atau sarana yang digunakan serta dihaturkan saat Tumpek Pengatag ialah seperti berikut :

  • Banten Prass.
  • Banten Nasi Tulung Sesayut.
  • Banten Tumpeng.
  • Bubur Sumsum (dibuat dari Tepung)
  • Banten Tumpeng Agung
  • Ulam itik (diguling), banten penyeneng.
  • Tetebusan, dan canang sari, ditambahkan dupa wangi.

Banten itu dihaturkan menghadap Kaja-Kauh untuk memuja Bhatara Sangkara sebagai Dewanya tumbuhan. Selanjutnya, semua tanaman yang ada di sekitar rumah atau pekarangan diberi sasat gantungan dan diikat pada bagian batangnya.

Mantra Tumpek Uduh

Kemudian, beri bubur sumsum. Kemudian”atag”, pukulkan 3x dengan pisau tumpul (tiuk tumpul) dengan ucapkan mantra seperti berikut :

“Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed-ngeed-ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng galungan mebuah pang ngeeed”

Yang artinya:

“Kakek-kakek, nenek di mana? Nenek di rumah sakit panas mengigil. Mengigil lebatt-lebatt-lebattt-lebattt, lebat utara, lebat selatan, lebat timur, lebat barat, lagi dua puluh lima hari hari raya galungan berbuahlah dengan lebat”

Menurut Wiana, dalam tuntunan agama Hindu dikenali ide tri chanda yaitu tiga elemen sebagai pemicu hidup dan kehidupan. Ke-3 elemen itu yaitu vata (udara), apah(air) dan ausada (beberapa tumbuhan). Tanpa ke-3 elemen itu, kehidupan tidak dapat berjalan.

“Karena itu, kejahatan pada ke-3 elemen dasar di kehidupan itu ialah kejahatan paling besar dalam kehidupan,” kata Wiana.

Dalam Niti Sastra disebut tri ratna permata, tiga hal yang mengakibatkan kemuliaan hidup yaitu beberapa tumbuhan, air dan kalimat arif. Menurut Hindu, kata Wiana, beberapa tumbuhan ialah saudara tua manusia.

Adat membuat dan menghaturkan bubur saat Tumpek Wariga, menurut Wiana, lebih sebagai adat lokal Bali. Adat ini selanjutnya diharmonisasi dengan tuntunan agama Hindu.

Baca juga : Penataan Pura Titi Gonggang Besakih, Pekerja Alami Kejadian Niskala

Umumnya, tambah Wiana, bubur yang dibikin dan dihaturkan saat Tumpek Bubuh berbentuk bubur warna merah dan putih. Bubur warna merah sebagai simbol purusa(maskulin) dan bubur warna putih sebagai simbol pradana (feminim). Penggabungan ke-2 elemen itu mengakibatkan lahirnya kehidupan.