Menjelang hari raya Nyepi, umat hindu Bali melangsungkan ritual Mesabatan Api atau di kenal dengan nama tradisi perang api. Kegiatan keagamaan ini ini mempunyai tujuan untuk mengusir petaka dari desa.
Saat senja menuju petang, para pemuda dan pemudi berkumpul di Bale Banjar Pura Doho, Desa Adat Pekraman Nagi, Ubud, Gianyar – Bali. Dengan pakaian adat seperti udeng untuk ikat kepala dan kamen atau sarung adat Bali yang memiliki motif kotak-kotak hitam putih menempel pada tubuh mereka.
Ritual ini disertai alunan tembang gegenjakan, dengan sorak-sorai semangat mereka terdengar keras beradu dengan suara gamelan Bali.
Ritual Perang Api di Ubud Gianyar Bali
Ada yang lain dari situasi banjar pada saat itu. Sebagian besar masyarakat bergabung di area banjar. Mereka siap-siap melangsungkan ritual Mesabatan Api ataupun lebih di kenal dengan tradisi perang api.
Tradisi perang api ini sudah dilakukan secara turun-temurun, menjelang perayaan hari raya Nyepi. Ritual sakral ini dilakukan oleh pemuda-pemudi dari Sekaa Teruna Teruni (STT) Mekarjaya ,Desa Adat Pekraman Nagi, Ubud, Gianyar, Bali.
Baca juga : Mebuug buugan, Tradisi sakral desa adat kedonganan
Sebelum memulai ritual perang api, pemangku adat setempat melaksanakan doa dan persembahyangan di dalam pura. Selanjutnya acara diteruskan dengan memercikan air atau tirta suci ke para peserta yang hendak melakukan ritual Mesabatan Api di depan bale banjar.
Pelaksanaan ritual perang api ini di mulai saat pergantian waktu antara senja menuju malam hari, ketika matahari betul-betul terbenam. Kondisi ini dikenal dengan istilah sandikala yang melambangkan dua unsur yang berbeda pada sebuah kesatuan yang saling memerlukan atau Rwa Bhineda.
Pelaksanaan Mesabatan Api atau Perang API Bali
Dengan bertelanjang dada dan mayoritas tidak beralas kaki, para pemuda tangguh dari Banjar Nagi Pulau Dewata ini siap-siap mengawali ritual Mesabatan Api. Timbunan batok kelapa yang dibakar sampai merah membara jadi sarana utama dalam ritual perang api ini.
Salah seorang pemuda memulainya dengan lari melewati baranya api sekalian menendang timbunan batok kelapa yang sedang terbakar oleh nyala api yang membara. Seruan dari warga yang berada di sekeliling untuk memberikan semagat.
Kemudian para pemuda Desa Adat Nagi mulai ambil batok kelapa yang sedang terbakar api dan saling lempar satu sama lain. Tiada rasa takut atau keraguan yang tergambar di muka para pemuda. Semua terlihat begitu berani dan semangat.
Makin malam serunya semakin berasa. Tidak ada cahaya apapun yang menyinari jalannya acara Mesabatan Api malam ini. Satunya-satunya sumber cahaya datang dari nyala api di batok kelapa yang terbakar tersebut. Semua pemuda terlihat jadi gila, brutal, dan berkesan lepas kendali.
Simak juga : Tradisi Perang Pandan di Desa Tenganan Pegringsingan
Tetapi tidak ada satu pun pada mereka yang marah atau tersulut emosinya. Yang ada justru senyuman ceria di raut muka mereka saat lemparan batok kelapa yang terbakar api berhasil mengenai tubuh lawan.
Sejarah dan Tujuan Perang Api Ubud, Gianyar
Menurut sejarah Tradisi Perang Api ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka sejak adanya Desa Adat Pekaraman Nagi ini. Tujuan dari ritual Mesabatan Api ini untuk mengusir semua unsur negatif dari roh jahat yang ada disekitaran desa.
Dengan tujuan untuk menghindari mala petaka dan musibah untuk masyarakat desa adat. Roh jahat yang dikenali sebagai Butha Kala ini dilukiskan sebagai iblis yang memiliki badan besar dengan lidah menjulur panjang yang kerap divisualisasikam ke patung ogoh-ogoh
Diceritakan pada jaman dahulu, di kawasan Banjar Nagi ini terjadi wabah penyakit yang menyebabkan banyak masyarakat desa meninggal. Selanjutnya pemangku adat saat itu memiliki inisiatif menghidupkan api dari obor, membakar batok kelapa dan sejenisnya.
Lalu nyala api itu diacung-acungkan dan dilempar ke seluruh penjuru banjar dengan dibarengi teriakan “bakar..!!!” oleh semua penduduk desa.
Keajaiban terjadi di keesokan harinya. Wabah penyakit membahayakan yang menyerang penduduk desa yang sudah menyebabkan banyak warga meninggal itu pada akhirnya hilang dan terselesaikan.
Semenjak kejadian itu, tradisi Mesabatan Api atau perang api ini selalu diselenggakaran tiap tahun secara turun-temurun di saat malam pengerupukan atau malam saat sebelum perayaan Hari Raya Nyepi untuk umat Hindu.
Setelah jam 21.00 WITA, ritus Mesabatan Api akan diakhiri dengan aba-aba Bendesa Desa Adat Pekraman Nagi. Sehabis melakukan ritual perang api, para pemuda Banjar Nagi ini saling bersalaman dan bersenda gurau dengan didampingi tuak ciri khas Bali. Tidak ada dendam atau kemarahan yang keluar jiwa mereka.
Ritual Mesabatan Api atau siat geni dengan bahasa Bali ini terdiri dari 3 sesion dan cuman diadakan sekali dalam setahun. Dalam pelaksanaanya, para peserta dipisah jadi dua barisan di sudut yang saling berhadap-hadapan. Tidak ada predikat kalah atau menang dalam ritual perang api ini, yang ada hanya keakraban antara warga dan pemuda yang beradu perang api keduanya.
Disamping jadi simbol pengusiran roh jahat, Mesabatan Api atau tradisi perang api ini jadi salah satu budaya dan kearifan lokal warga desa adat Nagi yang mempunyai nilai filosofi mulia dan bersejarah.
Baca juga : Tradisi Ngerebong, Warisan Budaya Asli Denpasar yang diakui Dunia
Lewat penyelenggaraan ritual perang api ini juga bisa makin menyemarakan hegemoni dan iklim pariwisata untuk banyak wisatawan dan turis selalu untuk berkunjung di pulau seribu pura ini.