Tradisi Perang Pandan di Desa Tenganan Pegringsingan. Bicara mengenai adat istiadat Bali memang mempunyai kekhasan tersendiri. Bali mempunyai budaya sedikit berlainan di setiap wilayahnya. Seperti tradisi yang berada di desa Tenganan yang mempunyai adat yang unik yakni tradisi perang pandan yang cuman bisa anda jumpai di Desa Tenganan. Dan mungkin anda sempat mendengar dan melihat tradisi ini di media tv, media sosial.
Tradisi perang pandan atau Makare Kare di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, biasanya digelar di muka Balai Petemon Kaja. Belasan pemuda melakukan geret pandan memakai daun pandan berduri dan menyebabkan cedera gores dan berdarah. Darah yang keluar dipercaya sebagai yadnya atau pengorbanan masyarakat Tenganan untuk menghargai tradisinya.
Perang pandan yang berada di Desa Tenganan merupakan tradisi desa khusus dari 3 desa khusus yang ada di pulau Bali. Warga Desa Trunyan dan Sembiran merupakan orang asli Bali atau kerap disebut Bali Aga. Bali Aga sendiri ialah warga asli Bali yang telah lama menempati pulau Bali sebelum kedatangan Agama Hindu dan Budha.
Warga Bali yang saat ini, umumnya bukan warga asli. Tetapi mereka rata-rata dari Pulau Jawa atau yang dikenal dengan suku Majapahit. Karena itu tradisi dan adat istiadat warga Bali Aga dengan Bali Majapahit sendikit berlainan. Seperti tradisi unik perang pandan atau acara penguburan mayat yang cuman ditempatkan di bawah pohon taru menyan seperti pada Desa Terunyan.
Sejarah Perang Pandan di Desa Tenganan
Masyarakat yang tinggal di desa tenganan merupakan penduduk Bali Aga, mereka menyembah Dewa Inda sebagai Dewa khusus. Sedangkan masyarakat bali yang berasal dari suku majapahit menymbah dewa Siwa. Disamping itu anda dapat menyaksikan ketidaksamaan pada pura, mereka pun tidak mengenali mekanisme “kelas” seperti umat Hindu Bali yang lain.
Baca Juga : Tradisi Ngerebong, Warisan Budaya Asli Denpasar yang diakui Dunia
Saat warga Hindu Bali yang lain melakukan Hari Raya Nyepi di desa Tenganan dan dusun – dusun dengan warga Bali Aga Bali tidak ada perayaan Nyepi.
Mengenai sejarah awal mengenai bagaimana perang pandan terjadi hingga akhirnya menjadi adat turun-temurun di desa Tenganan. Berbermula dari raja yang lalim dan benar-benar kejam memerintah warga Bali Aga, jauh saat sebelum kehadiran orang – orang majapahit ke pulau Bali.
Raja itu adalah Maya Denawa, karena Maya Denawa mempunyai kesaktian yang tak bisa di kalahkan, dan mengangkat dirinya sebagai dewa. Dan melarang rakyatnya untuk menyembah Dewa Indra.
Perlakuan Raja Maya Denawa membuat masyarakat menderita dan telah melewati batasan, kemudian warga Bali aga meminta bantuan ke Dewa Indra untuk melepaskan mereka dari kekejaman Maya Denawa.
Kemudian Dewa Indra turun ke dunia untuk menaklukkan raja Maya Denawa yang angkuh itu dan selanjutnya Maya Denawa bisa ditaklukkan dan mendapat hukuman atas kesombongannya. Semenjak itu warga Tenganan melakukan upacara kemenangan dan memperingati hari kematian Raja Maya Denawa.
Mereka melaksanakan tradisi perang pandan tiap tahunnya, untuk kembali mengenang kebebebasan mereka atas cengrakaman kekejaman Raja Maya Denawa dan untuk menghormati Dewa Indra yang dikenal juga oleh warga Hindu sebagai dewa perang.
Persiapan dalam Melakukan Perang Pandan
Sebelum digelarnya Perang Pandan, masyarakat terunyan mengadakan sangkepan Desa. Di mana masyarakat Dusun Tenganan duduk bersila di Balai Desa Tenganan.
Sangkapan ini membahas tentang perang pandan yang di hadiri oleh semua soroh yang berada di Tenganan. Salah satunya adalah soroh Pande dan soroh Pasek. Meskipun soroh Pande dan Pasek ini tidak merupakan masyarakat asli Tenganan. Karena mereka ini dihadirkan ke Tenganan pada zaman dahulu dengan pekerjaan tertentu.
Perang pandan Tenganan ini menyimbolkan ketulusan. Para peserta tidak ada yang merasa sakit hati apa lagi emosi. Semua dilaksanakan dengan suka ria. Karena perang pandan merupakan acara meyadnya dengan mempertaruhkan tubuh mereka yang di geret dengan pandan berduri,
Tradisi perang pandan atau Makare Kare ini diiringi dengan gambelan sacral Selonding. Sedangkan juri yang memimpin gambel Selonding harus melewati proses ritus tertentu. Ini karena gambelan dari zaman Majapahit ini benar-benar di keramatkan di Tenganan dan beberapa Desa tua di Bali.
Awal Mula Masuknya warga Pande dan Pasek ke Tenganan
Sebelumnya di Desa Tenganan telah ada Sembilan soroh. Pande ini dihadirkan untuk membantu dalam pekerjaan membuat pisau dan beberapa alat dapur. Sementara Pasek mendapatkan pekerjaan untuk memiara Babi jantan hitam.
Dari dulu Masyarakat Pasek dan Pande ini diberi tanah dan rumah Desa Tenganan. Karena itu mereka harus turut dalam aktivitas keagamaan di Tenagan. Namun mereka ini tidak mendapatkan hak penuh dari pengasilan Dusun, hanya mendapatkan setengahnya, berbeda dengan masyarakat asli Tenganan.
Lihat Juga : Simak Sejarah Pura Bukit Gumang Karangasem dari Beberapa Sumber
Sementara soroh tenganan asli ialah Sanghyang, Bendesa serta Prajurit. Bendesa sendiri bekerja sebagai pemimpin dalam upacara keagamaan di Tenganan sebagai Pemangku. Sementara untuk soroh lainnya berperan sebagai prajurit, tetapi untuk saat ini sedikit yang melakukan sebagai Prajurit.
Peserta Perang Pandan
Pada tradisi perang pandan ini selalu dilaksanakan oleh pemuda desa Tenganan. Perang Pandan jadi parameter seorang dapat dipandang dewasa karena mempunyai nyali untuk melaksanakan perang pandan. Senjata yang dipakai dalam tradisi perang panda ini ialah memakai pandan sebagai senjata khusus.
Daun Pandan yang dipakai sebagai senjata dalam megeret pandan dihadirkan khusus dari Tenganan. Yang disiapkan oleh teruna Desa yang masing masing terdiri dari 200 lembar daun pandan.
Pandan yang dipakai ialah pandan yang berduri. Peserta diperbolehkan bawa perisai yang dibuat dari anyaman rotan dan ketentuannya cukup sederhana,
Perserta yang melaksanakan perang atau tanding akan diputuskan oleh juri sesuai bentuk badan mereka. Umumnya perang pandan akan diawali saat pagi hari untuk meminta keselamatan dan kemudahan acara.
Kemudian diteruskan dengan tari – tarian untuk menghibur pengunjung. Kemudian disudahi dengan penyembuhan bersama – sama antar peserta untuk menyembuhkan sisa tusukan dan guratan dari cedera yang diakibatkan saat mereka melakukan perang pandan.
Baca Juga : Sejarah Pura Pengrebongan sebagai tempat digelarnya Tradisi Ngrebong
Setelah itu, semua peserta teruna dan masyarakat Desa berkumpul untuk mengadakan makan bersama ( megibung ) di tempat atau arena perang pandan tersebut. Kecerian terlihat saat mereka bercanda dengan tidak ada rasa dendam sehabis perang pandan ini. Walaupun badan mereka penuh luka dan darah sehabis di geret musuh saat makare kare.