Pura Besakih, di kaki megah Gunung Agung, gunung tertinggi dan paling disucikan di Bali, berdiri sebuah kompleks pura yang bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga saksi bisu perjalanan panjang budaya dan kepercayaan masyarakat Hindu Bali. Namanya Pura Besakih—dikenal juga sebagai Mother Temple karena statusnya sebagai pusat pemujaan tertinggi di Pulau Dewata.
Tapi tahukah kamu, di balik keindahan dan kemegahannya, Pura Besakih menyimpan kisah-kisah mistis, sejarah panjang, dan filosofi hidup yang dalam?
Awal Mula yang Terselubung Kabut Waktu
Asal-usul Pura Besakih diyakini telah ada sejak abad ke-8 Masehi, jauh sebelum agama Hindu berkembang pesat di Bali. Berdasarkan catatan sejarah dan kisah-kisah leluhur, tempat ini awalnya merupakan tempat pemujaan roh leluhur oleh masyarakat Bali Aga—penduduk asli Bali. Kala itu, tempat ini disebut sebagai Basuki, yang berarti “keselamatan”.
Konon, nama “Basuki” berasal dari Naga Basuki, makhluk mitologis penjaga keseimbangan alam. Nama ini lambat laun berubah menjadi Besakih, seiring masuknya pengaruh Hindu dari India yang dibawa oleh para pendeta seperti Rsi Markandeya.
Pura Besakih : Rsi Markandeya dan Akar Spiritualitas
Sosok penting dalam sejarah Pura Besakih adalah Rsi Markandeya, seorang resi dari India yang dianggap sebagai penyebar agama Hindu pertama di Bali. Dalam kisahnya, sang resi datang ke Bali sekitar abad ke-10 bersama ratusan pengikut. Di lereng Gunung Agung, ia bermeditasi dan menanam lima logam suci (pancadatu)—emas, perak, tembaga, besi, dan perunggu—sebagai simbol harmonisasi unsur alam.
Di tempat itulah kemudian berdiri Pura Basukian, yang menjadi cikal bakal seluruh kompleks Pura ini. Dari sinilah, titik spiritual Bali mulai memancar ke seluruh penjuru pulau.
Pura Besakih : Kompleks Pura yang Mengagumkan

Pura Besakih bukan sekadar satu pura, tapi merupakan kompleks spiritual raksasa yang terdiri dari lebih dari 80 pura besar dan kecil. Pusatnya adalah Pura Penataran Agung, tempat pemujaan utama kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran Hindu.
Struktur pura mengikuti konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala, yaitu filosofi keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Tak heran jika berjalan menyusuri setiap anak tangga di Pura Besakih terasa seperti melangkah naik ke dunia spiritual yang lebih tinggi.
Baca Juga : https://triponnews.com/museum-lontar-karangasem-rumah-ribuan-catatan-leluhur-bali/
Selamat dari Amukan Gunung Agung
Salah satu kisah paling menggugah dalam sejarah Pura Besakih terjadi pada tahun 1963, saat Gunung Agung meletus dahsyat dan menewaskan ribuan jiwa. Ajaibnya, lahar panas dan awan mematikan itu berhenti hanya beberapa meter dari kompleks utama pura.
Bagi umat Hindu Bali, peristiwa itu bukan kebetulan. Mereka meyakini bahwa Pura Besakih dilindungi oleh kekuatan suci, sebagai bukti nyata bahwa tempat ini memang benar-benar “ibu” dari seluruh pura di Bali.
Pusat Upacara Besar dan Warisan Dunia
Pura Besakih menjadi pusat dari berbagai upacara besar keagamaan, seperti Eka Dasa Rudra, yang hanya diadakan setiap 100 tahun. Puluhan ribu umat Hindu dari seluruh Bali dan bahkan luar negeri datang untuk mengikuti ritual tersebut.
Pada tahun-tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengajukan Pura ini merupakan Warisan Budaya Dunia UNESCO. Meskipun belum resmi diakui, pesona dan nilai spiritualnya sudah tak terbantahkan di mata dunia.
Mengunjungi Pura Besakih: Lebih dari Sekadar Wisata
Berjalan di Pura ini bukan seperti berkunjung ke objek wisata biasa. Ada aura sakral yang menyelimuti setiap sudut. Angin sejuk dari Gunung Agung, denting lonceng upacara, aroma dupa yang mengepul perlahan, dan lantunan mantra—semuanya menyatu menjadi pengalaman yang menggugah jiwa.
Bagi wisatawan, mengenakan pakaian adat dan bersikap sopan adalah bentuk penghormatan, karena ini bukan hanya tempat indah, melainkan tanah suci.
Penutup: Jejak Abadi di Tanah Dewa
Pura ini bukan hanya bangunan batu dan pura yang menjulang—ia adalah warisan jiwa. Ia berdiri sebagai lambang kekuatan spiritual, keteguhan budaya, dan cinta tak tergoyahkan masyarakat Bali terhadap leluhur dan alam semesta.
Jadi, jika suatu hari kamu menginjakkan kaki di sana, jangan hanya melihat—rasakanlah. Siapa tahu, kamu akan menemukan sesuatu yang selama ini kamu cari: kedamaian, keagungan, dan mungkin—secercah pencerahan.