Kisah Mitologi Kajeng kliwon pemelastali atau Watugunng Runtuh

Kisah Mitologi Kajeng kliwon pemelastali atau Watugunng Runtuh

Kajeng kliwon pemelastali yang dikenal dengan watugunung runtuh, Rerahinan Bali ini memiliki makna khusus karena kajeng kliwon ini berjalan diujung wuku yakni Watugunung perhitungan kalender Bali.

Watugunung ialah nama wuku paling akhir dari penghitungan pawukon di Bali. Nama Watugunung berawal dari cerita Watugunung. Kabarnya Watugunung ialah seseorang yang kuat dan sakti. Wuku ini mempunyai Urip 8 dan ada pada posisi ke-30. Banyak cerita yang beredar di Bali mengenai Watugunung.

Menurut lontar Medang Kemulan disebut jika Watugunung sebagai putra Dewi Sinta yang disebut sebagai permaisuri raja Kundadwipa.

Mitologi Kajeng kliwon pemelastali atau Watugunng Runtuh

Menurut Jero Made Juwita, yang sebagai mangku pengenter di Pura Dalam Penatih mengatakan, keseluruhan jumblah wuku yang ada dalam kalender Bali sekitar 30 wuku.

” Masing – masing wuku mempunyai peranan tertentu,”kata Jero Mangku.

Jero Mangku Juwita menjelaskan bahwa nama Watugunung ialah nama wuku paling akhir sebelum memasuki kalender Bali yang baru. Ini mengambil sumber dari mitologi dan lontar.

Lontar Medang Kemulan, kata Jero Juwita, menerangkan di suatu kerajaan yang namanya Kundadwipa ada seorang permaisuri yang bernama Dewi Sinta, Dia melahirkan seorang putra yang sakti dan kuat yang namanya Watugunung.

Awal Mula Naman Watugunung

Awal mula Watugunung adalah saat Dewi Sinta ditinggalkan suaminya Raja Kulagiri untuk bertapa di Gunung Semeru. Saat ditinggalkan, Dewi Sinta hamil tua. Selainnya Dewi Sinta, Sang Raja mempunyai satu permaisuri lagi, Dewi Sanjiwartia.

Pada kondisi hamil, Dewi Sinta akan susul suaminya ke gunung Semeru. Tetapi, diperjalanan, Dewi Sinta melahirkan anak laki-laki. Anak laki – laki itu ditempatkan di atas batu besar. Fenomena ajaib terjadi saat bayi itu bergerak sendiri dan jatuh di atas batu yang lain di bawah tempatnya sebelumnya.

Baca juga : Mitos Bunut Bolong, Terowongan Pohon Bali yang Mistis

Ajaibnya, batu yang diterpa bayi itu terbelah dua. Bayi laki-laki itu tidak mengalami cedera atau kesakitan. Bayi itu seterusnya diberinama Watugunung.

Waktu itu juga ada sabda dari Dewa Brahma jika Watugunung bisa menjadi anak sakti mandraguna. Ia tidak terkalahkan oleh manusia, detya, denawa, raksasa dan dewa. Tetapi, ia akan ditaklukkan oleh kura-kura renkarnasi Dewa Wisnu.

Watugunung dibuhuh oleh Kura-kura

Setelah beberapa tahun sejak dilahirkan, Watugunung tumbuh jadi anak yang nakal. Disamping itu, Watugunung mempunyai selera makan yang besar. Ibunya kesulitan melayani nafsu makannya. Sampai Dewi Sinta kehilangan kesabaran dan memukul kepala anaknya dengan sendok dapur sampai berdarah.

Jero Mangku Juwita juga menambahkan, sesudah dipukul, Watugunung pergi dan meninggalkan tempat tinggalnya. Watugunung yang jauh dari didikan istana tumbuh jadi pencuri.

Bahkan juga, semua kerajaan dapat ditaklukan secara mudah. Bahkan juga, kerajaan ayahnya turut ditaklukkan. Watugunung selanjutnya menikahi Dewi Sinta yang tidak lain ialah ibu kandungnya.

Sang Ibu mendapatkan anugrah awet muda, sehingga Watugunung tidak dapat mengenali ibunya. Begitupun sebalikanya, Dewi Sinta tidak mengenal putranya. Sampai satu saat Watugunung memerintah Dewa Sinta cari kutu dikepalanya.

Saat tersebut Dewi Sinta terkejut karena menyaksikan ada sisa cedera dikepala Watugunung. Dewi Sinta mulai mengenali anaknya.

Dewi Sinta yang ingat dengan anugrah Dewa Brahma, jika Watugunung bisa ditaklukkan oleh kura – kura titisan Dewa Wisnu membuat taktik supaya bisa terlepas dari Watugunung. Sang Dewi meminta dicarikan madu Dewi Sri yang tidak lain ialah istri Dewa Wisnu.

Dewa Wisnu murka atas kemauan itu hingga menjelma jadi kura – kura untuk membunuh Watugunung dengan cakra sudarsananya. Hari yang bersamaan dengan kekalahan Watugunung dikatakan sebagai Hari Watugunung Runtuh atau Kajeng Kliwon Pemelastali.

” Pamelas maknanya melepas. Tali maknanya sarana untuk mengikat . Maka maknanya melepas ikatan,”kata Jero Mangku Juwita. Bila dikupas lebih dalam, ikatan yang dilepaskan ialah widya atau ketidaktahuan. ” Watugunung cuma diperbudah nafsu. Tidak ada pengetahuan sejati yang dimilikinya,” jelas Jero Mangku.

Rerentetan Wuku Watugunung Runtuh

Sesudah Watugunung kalah dari Dewa Wisnu, Tubuh Watugunung jadi mayat. Di Bali mayat disebutkan watang.

Hingga hari Senin Umanis Watugunung disebutkan Candung Watang. Sekarang ini ada keyakinan Tidak Boleh naik pohon saat Wuku Watugunung Runtuh.

Kemudian, Selasa Paing Watugunung disebutkan paid – paidan di mana Dewa Wisnu menyeret badan Watugunung.

Esok harinya Buda Pon Watugunung disebutkan Buda Urip karena Watugunung kembali dihidupkan oleh Bhagawan Budha yang meminta izin Dewa Wisnu.

Kamis Wage Watugunung dikatakan sebagai hari panegtegan atau ingat semua kejadian yang sempat dirasakan Watugunung.

Di hari Jumat Kliwon, Watugunung mengetahui jika apa yang sudah dilakukan ialah sebuah kekeliruan yang besar, hingga dia harus meminta ke Tuhan supaya diberi pengampunan.

Dan, hari itu disebut dengan panggilan Sukra Pangredanan.

Seterusnya, Sabtu Umanis pucuk dari Wuku Watugunung ialah hari suci Saraswati, di hari itu dipercaya sebagai hari turunnya ilmu dan pengetahuan. Di sini Watugunung minta pengetahuan.
” Kemampuan tanpa kecerdasan tidak berpengaruh baik untuk kehidupan. Harus seimbang,” Tambahnya