Presidensi G20 di Bali 2022 dan Climate Leadership

Presidensi G20 di Bali 2022 dan Climate Leadership

Presidensi G20 di Bali 2022 dan Climate Leadership – Pada Hari Senin, 14 Maret 2022 di Hotel Meruorah Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), bekas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, mengeluarkan nada keinginan jika kepimpinan Indonesia dapat berperan dalam rumor peralihan cuaca dan perdamaian kawasan Asia lewat momen Presidensi G-20 di Bali pada November 2022.

Rabu, 1 Desember 2021 di Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) buka Presidensi G20 Indonesia dengan topik Recover Together, Recover Stronger. Konsentrasi Presidensi G20 Indonesia adalah (1) arsitektur kesehatan global yang inklusif dan tanggap krisis; (2) perubahan sosial ekonomi berbasiskan digital; dan (3) peralihan ke arah mekanisme energi terus-menerus.

G20 ialah forum antar-pemerintah yang terbagi dalam Uni Eropa dan 19 negara (Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat (AS). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, Spanyol, Uni Afrika, Asean, dan organisasi internasional lain jadi tamu-undangan tetap.

Presidensi G20 di Bali 2022 dan Climate Leadership

Kementerian Pertahanan (Ministry of Defence/MOD) Inggris melaunching trend stategis global “Global Strategi Trends” edisi keenam tahun 2018. Dua dari 16 factor ketidakjelasan global yang memacu resiko jumlah besar awalnya era 21 yaitu erosi kedaulatan beberapa negara dan kenaikan disrupsi dan biaya peralihan cuaca. Ke-2 factor resiko itu membawa resiko besar.

Karena hukum, yurisdiksi, peraturan, dan program tata urus tanah, air, dan kekayaan alam yang terdapat didalamnya ialah pangkalan kekuasaan setiap negara. Karena itu pasti resiko besar sekali, bila terjadi erosi kedaulatan negara. Di lain sisi susunan kapitalisme dunia semenjak Revolusi Industri di Eropa, sudah terpateri kuat berbahan bakar fosil (batu-bara, minyak, gas) dari perut Bumi.

Bahkan juga kapital fosil tentukan kemajuan ekonomi banyak negara sampai awalnya era 21 (Heinberg, 2011). Untuk hasilkan energi, bahan fosil dibakar. Resikonya, pelepasan CO2 ke atmosfer, penyebab khusus peralihan cuaca sejauh ini (Fronk, 2014:2; IPCC, 2021). CO2 (karbon-dioksida) mengontribusi sekitaran 65 % peningkatan temperatur atmosfer (Aleklett, 2012) dan mempengaruhi temperatur laut dan peningkatan permukaan air laut semenjak 1970 (IPPC, 2013).

Opsi sekarang adalah tansisi dari energi fosil ke mekanisme energi bersih-bekelanjutan. Hillary Fronk (2014) menulis tesis mengenai kesempatan peralihan ke mekanisme energi terus-menerus: “Global Capitalism and the Energy Crisis” pada University of Denver, AS.

Fronk menulis jika penemuan dan pemakaian api dari batu dan kayu ialah tapak jejak awalnya manusia dengan tata-kelola sumber energi terus-menerus, peradaban manusia, serta survival-eksistensi kehidupan manusia di planet Bumi.

Climate leadership

Transisi dari mekanisme energi fosil ke mekanisme energi bersih-berkelanjutan pada setiap negara benar-benar tergantung pada kepimpinan nasional. Misalkan, korupsi mempunyai tapak jejak ekologis (ecological foot-print).

Diantaranya kemunduran (rapuh) ekosistem, kemunduran tanah-air, musnah keberagaman-hayati, penipisan sumber daya alam, musibah alam, kelangkaan air sehat-bersih, kekeringan, kebakaran rimba, musibah alam, dan desertifikasi (rapuh-lahan).

Ini juga rintangan kepimpinan setiap negara, terhitung beberapa pimpinan barisan negara G20 sekarang. Mekanisme energi bersih-berkelanjutan sejauh ini belum cocok dengan susunan ekonomi setiap negara. Mekanisme ekonomi setiap negara lebih cocok berbahan bakar fosil.

Karena itu peralihan mekanisme energi dari fosil ke energi bersih-berkelanjutan akan mengganti mekanisme sosial-ekonomi-lingkungan setiap negara sekarang ini.

Opsi sekarang adalah kepimpinan nasional yang hikmat-bijaksana untuk mengganti mekanisme sosial-ekonomi supaya cocok mekanisme energi bersih-berkelanjutan yang memitigasi beberapa efek peralihan cuaca.

Baca juga : Kemenparekraf Pesan 120 Kain Gringsing Tenganan untuk Suvenir G20

Tujuan Climate leadership

Kepimpinan negara harus solid-kuat buat menahan erosi kedaulatan negara dan tidak terkikis oleh mekanisme neoliberal berbasiskan kapitalisme fosil. Ini tidak gampang, misalkan saksikan data awalnya era 21 di AS (Deffyes, 2005), ada enam ribu tambang aktif batu-bara; bahkan juga ¾ konsumsi energi di AS datang dari batu-bara (Heinberg, 2011).

Awalnya 1900-an, minyak dipakai untuk sumber energi; minyak mulai dipakai dalam perang pada zaman Kaisar Romawi Konstantinus IV era 7 M (Heinberg, 2011). Awalnya era 20, minyak jadi sumber dasar kemajuan ekonomi di Eropa dan AS (Fronk, 2014:10).

Susunan ekonomi dunia semenjak tahun 1965, masih dikuasai oleh konsumsi energi fosil. Kepimpinan hikmat-bijaksana melakukan peraturan dan program rekondisi ekosistem negara dan peralihan mekanisme energi berbahan bakar fosil ke energi bersih-berkelanjutan (climate leadership). Misalkan, opsi peraturan pajak dan bantuan bisa percepat peralihan ini.

Bantuan ialah wujud kontribusi langsung atau mungkin tidak langsung dari pemerintahan ke beberapa sektor usaha yang ramah-lingkungan (Harris et al, 2013). Di lain sisi, reformasi peraturan pajak dan bantuan tidak gampang, bila saksikan data global prediksi bantuan bahan bakar fosil tahun 2010 sejumlah 500 miliar dollar AS.

Stimulan pemerintahan ini 12 kali semakin besar dari bantuan ke sumber energi bersih-berkelanjutan rasio global (Morales, 2010). International Energy Association (IEA, 2013) menyebutkan data bantuan pemerintahan di dunia sejumlah 544 miliar dollar AS ke industri bahan bakar fosil tahun 2012.

Presidensi G20 di Bali

Beberapa pimpinan G20 pada Pertemuan Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Pittsburg, AS, tahun 2009, sepakat prakarsa untuk menggunting bantuan ke industri bahan bakar fosil. KTT G20 itu menggerakkan peraturan dan program energi bersih-berkelanjutan. Tetapi, pada umumnya, menurut IEA (2013), pengurangan subsisi ini lambat pada banyak negara. Di lain sisi, tahun 2009, pemerintahan Jerman mulai sediakan 10 miliar dollar AS bantuan dan biaya bidang energi bersih-berkelanjutan.

AS menyuplai bantuan sejumlah 18 miliar dollar AS dan Tiongkok sejumlah 2 miliar dollar AS ke bidang energi bersih-berkelanjutan. Peraturan dan program sama dilaksanakan oleh beberapa negara Uni Eropa. Pada umumnya, produksi minyak dari anggota G20, misalkan AS, Indonesia, Meksiko, Inggris, dan Norwegia, condong menyusut (Heinberg, 2011). Cara ini harus dituruti oleh pengokohan beberapa sektor industri atau sumber energi bersih-berkelanjutan. Kita saksikan, umat manusia mempunyai adat lama pemakaian energi angin, matahari, dan air.

Sekitaran 2000 tahun pra-Masehi, beberapa orang Mesir memakai energi angin untuk menggerakan kapal-perahu monitor; peradaban Mediteranian dan Timur-Tengah sudah lama memakai tenaga angin untuk pompa air (Olah, 2006). Data EIA (Energy Information Administration) asal AS (2013) mengatakan, energi angin sediakan pembangkit listrik dunia sejumlah 104 miliar kwh (killowatt hours) tahun 2005 dan 617 miliar kwh tahun 2013. Tetapi, jumlah ini cuma sekitar 1 % dari keseluruhan pembangkit listrik dunia (EIA, 2009).

Masalah pemakaian energi angin dan matahari

Ini ialah kemampuan taruh energi terbatas (Trainer, 2007). Tehnologi bisa menangani masalah ini. Sumber energi air diantaranya sungai, danau, atau dam buat mengganti energi kinetik lewat perputaran (perputaran) turbin untuk hasilkan energi listrik (IEA, 2010). Sumber energi dari gelombang laut bisa diatur tanpa beresiko pada kehidupan laut, navigasi, dan rekreasi (EIA, 2012). Peralihan mekanisme energi fosil ke energi bersih-berkelanjutan, cuma bisa dikerjakan lewat formulasi sustainable decision making.